Hari ini, Jumat 13 April 2007, menjelang waktu shalat Isya, satu catatan penting
dalam sejarah hidup saya terukir, saya baru saja manamatkan membaca (khatam) Al-
Qur'an untuk pertama kalinya dalam hidup saya.
Mungkin bagi sebagian besar orang merupakan hal yang biasa karena mereka telah khatam Quran hingga puluhan kali sepanjang hidupnya, atau mungkin ada yang menganggapnya sebagai hal yang memalukan, mengingat usia saya yang sudah setua ini, tapi baru satu kali menamatkan membaca Qur'an.
Bagi saya sekarang, adalah lebih memalukan jika belum pernah khatam sama sekali.
Apalagi kalau keburu mati (sengaja saya sederhanakan bahasanya untuk mengingatkan bahwa kematian itu begitu dekat).
Saat saya kecil, orang tua saya mengikutkan saya dan saudara-saudara saya untuk belajar mengaji di mesjid, dengan metode: guru membaca dan murid menunjuk, he he he..(waktu itu belum dikenal metode iqra). Tapi saya tidak ingin menyalahkan guru mengaji saya, karena pada guru mengaji yang sama, kakak saya menjuarai beberapa kali lomba musabaqoh, artinya dia bisa membaca Qur'an dengan sangat baik, dan berarti pula sayalah yang bodoh.
Adik-adik saya bisa membaca Qur'an dengan lancar karena, selain lewat guru mengaji, (Alm) Bapak saya selalu menyempatkan diri membimbing mereka belajar mengaji dirumah. Pada saat itu saya sudah mulai sibuk dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler sekolahan.
Hasilnya, sampai saya menikah dan menjadi imam bagi istri saya, hafalan surah saya tidak pernah bertambah dari apa yang pernah saya hafalkan saat belajar mengaji di mesjid. Dulu, setiap kali sebelum memulai pelajaran mengaji, kami diharuskan membaca surah mulai dari An-Nas sampai Al-Ashr. Itulah yang membekas menjadi hafalan karena dilakukan setiap hari
Bagaimana mungkin bisa menambah hafalan, membaca saja saya sulit.Mulai ada rasa malu pada diri sendiri dan keluarga. Tapi harusnya saya lebih malu kepada Allah yang sudah menurunkan 'manual-book' untuk ciptaan-NYA yang disebut "manusia", tetapi saya tidak belajar untuk membacanya dengan lebih baik.
Saat ponakan-ponakan istri saya mulai memasuki usia yang sudah saatnya mereka diajarkan membaca Al-Qur'an, didatangkanlah guru privat untuk mengajarkan mereka dengan metode Iqra. Kesempatan, tanpa rasa malu saya ikut belajar mulai dari buku Iqra 1.
Belum selesai buku Iqra 1, saya berkesempatan berangkat ke Libya, sebuah negara Islam. Di sana saya sering kuatir jika berbincang dengan orang Arab tentang bagaimana orang Indonesia membaca Qur'an, pertanyaan yang paling sering dilontarkan ke saya. Kuatir kalau mereka meminta saya membaca satu-dua ayat.
Pernah juga saya diajak menghafalkan beberapa surah Al-Quran oleh supir taxi yang saya tumpangi di sela-sela obrolan, untungnya surah yang dihafalkan adalah surah antara An-Nas dengan Al-Ashr, jadi bukan masalah bagi saya. Ha ha ha haSetelah mengakhiri hafalan dengan do'a (saya meng-amin-kan), dia bilang "Anta queis"yang artinya "Anda bagus", Alhamdulillah.
Empat bulan di sana, saya agak sedikit memahami, bagaimana membaca huruf Arab gundul.
Dalam setiap Ramadhan, saya selalu bertekad untuk bisa khatam dalam Ramadhan itu, tapi karena membacanya masih tersendat-sendat, walhasil, akhir Ramadhan surah al-Baqarah pun belum habis dibaca. Lepas Ramadhan iklim dan semangatnya surut lagi.
Sekarang ini, di Jogja, saya hanya fokus dengan perkuliahan yang tidak terlalu padat, sehingga saya punya cukup waktu. Dengan semangat saya harus khatam Al-Quran minimal satu kali sebelum saya mati, saya mulai membaca Al-Qur'an secara rutin setiap habis shalat Shubuh dan Maghrib.
Awalnya terasa berat dan membosankan karena harus membaca tersendat-sendat, dan mengulangi setiap kali salah baca. Tapi ternyata itu latihan yang efektif sepanjang kita tidak gampang menyerah. Lama kelamaan saya mulai dapat membaca dengan lebih lancar.
Saya mencoba mengaji sendiri tanpa guru. Satu bantuan yang cukup berarti adalah, di kamarku kebetulan mendapat layanan TV Kabel, dan salah satu siarannya dari TV Qatar. Setiap pagi sekitar satu jam, saluran TV itu menayangkan ayat-ayat al-Quran disertai dengan suara qori' yang membacanya. dari situ saya coba belajar membaca huruf yang benar dan saya praktekkan. Kadang-kadang, suara qori' membacanya dengan disertai tajwid dan sangat enak untuk didengarkan.
Kurang dari tiga bulan, akhirnya semangat saya membuahkan hasil, kemenangan besar pada hari ini.
Hikmahnya, memang tidak ada kata terlambat sepanjang kita mau memulai dan konsisten menjalaninya hingga selesai.
Insya Allah, besok shubuh saya akan mulai kembali dengan Al-Fatihah dan Al-Baqarah lagi.
Search
Friday, April 13, 2007
Khatam
Wednesday, April 04, 2007
Upgraded
Satu kesyukuran yang besar, yang selalu saya haturkan ke hadirat Allah SWT, atas kesempatan dan kemudahan yang dilimpahkan kepada saya, sehingga saya dapat mengikuti pendidikan jenjang S2 di magister Ilmu Komputer UGM.
Baru beberapa bulan perkuliahan, saya merasakan kemajuan yang amat pesat dalam diri saya, padahal sekarang baru musim mid-test dalam semester pertama saya.
Insya Allah, tiga semester kedepan, tak terbayangkan kemajuan yang bisa saya capai, sepanjang saya bisa menjaga keseriusan dan usaha dalam belajar. Semoga Allah tetap memberikan rahmat dan hidayah-Nya.
Saya benar-benar merasa ter-upgrade
Hal yang paling terasa adalah proses pendekatan saya kepada dunia matematika yang dulu merupakan phobia bagi saya.
Hari ini saya baru menyelesaikan mid-test untuk matakuliah Teori Komputasi, yang isinya merupakan pendekatan matematika terhadap sistem bahasa dalam pemrograman komputer
Saya berhasil menyelesaikan dua dari tiga soal, dan saya yakini di atas 80% benar
Memang bukan pencapaian terbaik untuk standar rata-rata seharusnya mahasiswa, tetapi itu adalah pencapaian terbaik bagi saya dalam matematika.
Menghadapi ujian matematika tanpa rasa kuatir saja bagi saya sudah merupakan satu kemajuan besar.
Saya jadi ingat saat kuliah S1, yang saya selesaikan 10 tahun yang lalu, setelah ditempuh selama 7,5 tahun. Untuk matakuliah kalkulus I harus saya ambil dalam empat semester untuk dapat lulus, dan tiga semester untuk matakuliah Kalkulus II. Total tujuh semester bersama Kalkulus, termasuk di dalamnya tiga semester untuk Statistika. Hasil tertinggi hanya C, dan tanpa ada yang membekas di dalam kepalaku, selain simbol integral yang menakutkan dan notasi sigma.
Di sini, di S2 Ilmu Komputer, saya tertantang untuk mempelajari matematika step by step, kendati harus mulai dari nol. Mungkin karena obsesi penguasaan ilmu komputeryang membuat saya mau tak mau harus kembali bergelut dengan matematika, ditambah dengan kesadaran akan kesalahan masa lalu.
Ternyata benar kata orang, "tidak ada kata terlambat untuk belajar"
Selagi sempat dan sebelum saya lupa, saya harus menyampaikan ini:
Terimakasih untuk pa' Yoyo yang menyajikan matematika dengan cara yang lebih mudah dipahamiuntuk orang-orang seperti saya
Terimakasih untuk teman-teman S2 saya, de' Nesi Syafitri, pa' Hasanuddin, pa' Felix, mas Heru, mas Ibnu, mas Andri, mas Surya, daeng Arfan yang semuanya bersedia datang dan berkumpul di tempat kos saya untuk mengajari saya matematika.
Terima kasih untuk pa' Rahman Mallala di Makassar, yang bersedia diganggu lewat SMS dengan pertanyaan2 aneh saya seputar matematika
Terima kasih untuk STMIK KHARISMA atas kesempatan yang diberikan
Terima kasih untuk Istriku atas doa dan dukungannya