Search

Google

Tuesday, August 05, 2008

Barber Shops

Sabtu, 02 Agustus 2008 malam, akhirnya saya bertemu kembali dengan tukang cukur langganan saya setelah tidak berjumpa sejak awal tahun 2008.
He he he .. kayaknya penting banget yaa hanya untuk urusan ketemu tukang cukur musti diberitakan di blog..

Saya punya beberapa alasan untuk menulis tentang tukang cukur,
pertama, karena saya sudah lama tidak nulis dan mulai malu dengan blog yang tidak pernah ter-update
kedua, karena pas lagi dicukur, ingatan saya melayang ke sejumlah pengalaman bercukur, yang menurut saya, menarik untuk saya ceritakan, dan langsung niatan mau nulis di blog.., sekaranglah waktunya he he..

Tempat tukang cukur langganan saya di Makassar, di jalan Jend. Sudirman dekat lampu merah perempatan Sungai Saddang, depan gedung MULO DepDikNas, namanya tukang cukur M**a (he he he.. tidak boleh menyebut merk).

Mungkin bagi banyak orang di Makassar tidak tau kalau di situ ada tukang cukur, hanya berjarak dua rumah dari tukang cukur saya ada tukang cukur Mu***ra yang sepertinya sudah ngetop banget karena yang datang ke situ rata-rata bapak-bapak bermobil mewah dengan plat nomor VIP, tidak jarang datang bersama anak-anak mereka yang bersih-bersih dan menunggu giliran dicukur sambil main GameBoy atau PSP.

Dulu saya sering datang ke tukang cukur Mu***ra itu, paling tidak ikut bergaya VIP he he he..., di dalamnya nyaman, ber-AC, ada handuk hangat dan pijat kepala. Tukang cukurnya banyak, tapi masalahnya menurut saya tidak semua Pro, bahkan ada beberapa kursi cukur yang tukang cukurnya sudah berganti beberapa kali, entah mengapa. Ada juga tukang cukur yang tetap dan sepertinya mereka tukang cukur yang sudah Pro.

Kepala saya mungkin agak unik, saya sangat sulit mencari helm, topi, atau songkok, karena sulit mencari ukuran besar, jadi kalau sudah dapat yang cocok, akan saya pakai sampai butut dan benar-benar harus diganti. Belum lagi rambut yang keriting dan kering, yang salah potong sedikit akan seperti nyaris gundul dan kelihatan seperti kepala anak kecil, saya sendiri tidak suka melihatnya kalau bercermin. Karena itu mencari tukang cukur sama susahnya seperti mencari topi atau helm bagi saya.

Ini masalah saya di tukang cukur Mu***ra, karena tiap kali saya datang, tidak selalu dilayani oleh orang yang sama, karena tukang cukurnya banyak dan melayani sesuai antrian, belum lagi sering ganti orang. Jadinya, kadang satu bulan saya puas dengan hasil potongan satu tukang cukur, tapi bulan berikutnya harus makan hati lihat bayangan kepala saya di cermin, istri saya sendiri bilang kelihatan seperti potongan rambut anak kecil.

Pernah saya dicukur oleh tukang cukur yang menurut saya Pro, cara potong dan pelayanan dia bagus, dan dia selalu ada (tidak pernah di ganti) di tempat cukur Mu***ra itu, tempat cukurnya yang paling ujung dekat pintu masuk. Tapi ternyata setelah saya amati beberapa bulan, sepertinya dia yang memilih siapa yang mau dia cukur, karena saya pernah datang lebih dulu, dan menurut hitungan saya, berdasarkan antrian saya harusnya dilayani dia, tetapi ternyata si tukang cukur mempersilahkan orang lain yang yang datang belakangan dan belum lama menunggu. Di bulan yang lain, pernah juga saya melihat dia menolak mencukur seorang anak, dan melayani orang lain yang datang belakangan.

Saya paling tidak senang dengan diskriminasi seperti itu. Merasa tidak menjadi yang terpilih, ditambah lagi dengan kualitas cukur terakhir di kepala saya yang lagi-lagi menyedihkan, saya putuskan untuk tidak ke situ lagi, cari tempat cukur lain, dan ternyata dua rumah dari situ, ada papan nama tukang cukur M**a

Tempatnya sepi, parkirannya hanya muat untuk satu mobil, di dalam ada empat kursi cukur tetapi selalu hanya ada satu tukang cukur, seorang bapak berumur kira-kira 50-an tahun. walau cuma satu tukang cukur, tapi karena sepi, saya jarang mengantri, paling banyak hanya menunggu satu orang.

Sampai hari ini saya belum pernah kecewa dengan hasil cukur si Bapak (saya belum pernah tanya namanya). Tapi satu yang saya takutkan kalau cukur di situ, si Bapak itu sepertinya menganggap saya penganut aliran-aliran agama garis keras (mungkin karena saya selalu hanya minta cukur kumis, tidak dengan janggut), bahkan beliau pernah menanyakan terang-terangan saya dari perkumpulan mana.. waduh..!

Yang saya kuatirkan adalah, si Bapak sering menanyakan hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum syari'ah, atau mengajak diskusi soal konflik berbau agama yang muncul di media. Bukannya tidak suka.., tapi ilmu saya belum sampai ke sana, dan yang begitu tidak boleh salah diomongkan, tanggung jawabnya berat kan? Padahal saya sudah pernah bilang kalau saya tidak ikut aliran manapun dan saya masih belajar soal agama.
Pernah beliau menanyakan soal warisan, hibah dan wasiat, untungnya sudah pernah dengar dari acara "Mamah dan Aa'" di TV habis subuh, jadi diskusinya bisa nyambung dikit.. he he he..

Kembali ke soal cukur, dari pengalaman saya dengan tukang cukur, hasil terbaik untuk kepala dan rambut saya yang saya amati adalah jika si tukang cukur memotong hanya dengan menggunakan gunting dan sisir, ya gunting biasa... Jika tukang cukur menggunakan mesin pemotong (apa ya nama sebenarnya, pokoknya gunting cukur yang pakai listrik itu..), maka biasanya hasilnya tidak akan memuaskan bagi saya.

Selama di Jogja, tidak ada tukang cukur yang saya temui yang menggunakan gunting, semuanya pakai mesin potong, jadi bisa dibayangkan berapa bulan harus makan hati setiap kali habis cukur.. he he he..

Pengalaman terburuk bercukur di Jogja, ada tukang cukur di gang Sumilir (belakang MM UGM), namanya tukang cukur "K****k" dan menggelari tempat cukurnya sebagai "tempat cukur cowok cerdas", saya cuma sekali ke situ dan kapok. Sebenarnya sempat diingatkan sama teman satu kos supaya jangan ke situ karena disitu tukang cukurnya kejar target. Ngga ngerti maksudnya kejar target, saya coba saja cukur di situ.

Ternyata..,
saya datang langsung disambut 'resepsionist' merangkap kasir (karena bayarnya di situ juga), langsung nanya "Bapak pilih yang biasa atau yang spesial" (sebenarnya ada istilah mereka, cuma saya lupa, saya sebut 'spesial' saja). saya tanya, "bedanya apa?", jawabnya "kalau yang spesial lebih cepat"..

????????????
Di kepala saya mungkin muncul tanda tanya sebanyak itu..,
lebih cepat???, orang cukur cari apanya sih..?? cepatnya atau rapinya??, apa iya kalau cepat bisa bagus dan rapi??, apakah yang spesial, tukang cukurnya bisa cepat dan rapi?? bagaimana kalau yang biasa bisa lebih rapi karena tidak terlalu cepat..??

saya lalu memutuskan untuk memilih yang biasa, dengan pemikiran ngga usah cepat-cepatlah.. yang penting rapi.. Tapi ternyata.. sesal kemudian memang tiada berguna.. he he he..

Sudah kepala saya memang selalu bermasalah dengan tukang cukur, masuk ketempat cukur bermasalah.. weleh..! sambil dicukur saya iseng bertanya ke tukang cukur yang melayani saya (kira-kira usianya 20-an), apa bedanya yang di sini (biasa) dengan yang spesial. Jawab si tukang cukur, kalau yang di sini untuk tukang cukur pemula yang baru mau gabung dengan tukang cukur K****k, nanti kalau sudah bisa cepat, baru dianggap lulus dan masuk ke 'dalam', dapat seragam (melayani yang spesial)

Waaaaaaaaaaaaa....!!! saya langsung stress membayangkan apa yang akan terjadi, dan ternyata memang terjadi

Si tukang cukur menggunakan gunting, tapi bukan gunting biasa, melainkan 'gunting per', gunting cukur model dulu sebelum diganti mesin, gunting cukur yang dipakai tukang cukur zaman saya masih kanak-kanak, hasilnya memang bagus untuk 'cukur habis' he he he he .., Tidak kebayang kalau alat itu dipakai untuk cepat-cepatan mencukur (lha targetnya kan cepat..). Saya baru ngerti yang dimaksud oleh teman kos saya.. kejar target

Waktu mau merapikan pinggiran rambut, saya kembali ngeri, si tukang cukur hanya menggunakan pisau silet biasa, tanpa pegangan, dan pisau siletnya entah sudah pemakaian ke-berapa.., saya cuma menahan napas, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.

Memang kondisinya harus dimaklumi, karena menurut si tukang cukur, peralatan mereka itu sepenuhnya modal sendiri, biaya cukurnyapun yang cuma 5000 rupiah, berbagi dengan yang punya tempat cukur. Nanti kalau merea sudah 'lulus' baru boleh masuk ke dalam dan peralatan disediakan.

Tapi yang menjadi pikiran saya, kapan mereka lulusnya kalau tidak ada kata puas dari pelanggan, lha kerjanya seperti orang dikejar-kejar dengan peralatan kurang memadai, apakah ukurannya berdasarkan stopwatch. Apakah itu cara yang baik untuk membina tukang cukur pemula???

Saya sendiri keluar dari tempat cukur itu dengan penuh rasa gondok, dipaksain pun ngga' mungkin terucap kata puas. apalagi hari itu saya harus masuk tukang cukur lain untuk merapikan hasil karya "tempat cukur cowok cerdas", dan hasil akhirnya saya nyaris gundul, lalu berdoa mudah-mudahan tumbuhnya cepat.

Tukang cukur lain.. hmmmm, selama di Jogja, saya harus puas dengan satu tempat cukur yang dulunya bernama Az**m, dekat dengan tempat kos saya. Walaupun mengandalkan mesin cukur, tapi tukang cukurnya cukup telaten dan berhati-hati dengan rambut pelanggan, saya tinggal bilang "dirapikan, jangan terlalu pendek", hasilnya lumayan. Pelayanannya juga sopan dan menyenangkan, walau tempatnya tidak besar dan sederhana.

Dulunya bernama Az**m, tapi sekarang sudah ganti nama jadi Cr***o, saya sempat bertanya ke tukang cukurnya, yang kebetulan ganti juga, ternyata kisahnya cukup menarik.

Az**m ternyata sempat punya lima cabang di Jogja, dirintis oleh seorang mahasiswa MM (Magister Manajemen) UGM dari Medan, yang pada saat baru datang di Jogja katanya hanya naik Vespa butut, tapi setelah Az**m punya lima cabang di Jogja, dia tinggal terima setoran tiap bulan, dan sudah ganti kendaraan mobil jenis CRV, hebat kan??

Sayangnya setelah kuliahnya selesai, dia kembali ke Medan dan menjual semua asset Az**m. Sebagian dibeli oleh mantan karyawannya/tukang cukurnya. Salah satunya yang didekat tempat kos saya yang sekarang bernama Cr***o. Pemiliknya adalah mantan tukang cukur Az**m cabang Malioboro. Konsep Cr***o tidak berubah dari Az**m kecuali nama dan pemiliknya.

Nah saat peralihan itulah, Az**m tutup cukup lama dan saya terpaksa harus jadi korban K****k He he he he ...
Kalau ada orang K****k yang baca ini, harusnya mengganggapnya sebagai kritik atau koreksi.


Pengalaman menarik lain dengan tukang cukur adalah saat saya di Libya tahun 2001, empat bulan di sana, Juni-September, saya tidak pernah disentuh tukang cukur. Nanti menjelang pulang kembali ke Indonesia, saya dan dua rekan yang juga dari Indonesia, berjalan-jalan di kota Tripoli malam hari, dan ketemu dengan tempat cukur, kami bertiga masuk untuk bercukur. Di antara bertiga, saya dicukur pertama, kata teman, sebagai tumbal, nanti kalau hasilnya bagus baru mereka ikutan cukur, he he he ..

Dimulai dengan komunikasi yang sulit, karena tukang cukurnya (masih muda, umur kira 25-an) cuma ngerti sedikit bahasa Inggris, dan kita tidak bisa berbahasa Arab, apalagi ngomongin soal model rambut, akhirnya saya tunjuk saja orang yang lagi di cukur disebelah dan hampir selesai, terlihat rapi, saya bilang "same", si tukang cukur manggut-manggut.

Sebelum mencukur, rambut saya di acak-acak abis, pakai tenaga malah, tapi rasanya enak, seperti di pijat kepala. agak aneh memang karena rambutku yang sudah kacau balau, semakin dibuat kacau, saya cuma bingung lihat bayanganku di cermin, kelihatan juga teman-temanku ketawa dibelakang. Si tukang cukur kemudian berjalan berkeliling melihat sambil tolak pinggang, kelihatannya seperti insinyur lagi inspeksi he he he.., mungkin dia bingung mau diapain ini rambut. Tapi kemudian dia mulai menggunting dengan telaten dan gayanya meyakinkan. Alatnya lagi-lagi cuma gunting. Hasilnya, mungkin itu potongan rambut terbaik yang pernah saya dapatkan, karena kedua teman saya juga bilang bagus. Sempat terpikir, seandainya bisa, kembali ke Indonesia dan tidak perlu potong-potong rambut lagi, he he he he ..

Masih tentang tukang cukur. Setiap pagi saya mengantar istri saya ke sekolahnya, sebelum saya ke kantor karena jam kantor istri saya lebih pagi. Kalau pagi kendaraan tidak boleh masuk ke jalan Baji Gau dari arah jalan Cendrawasih, karena akan macet di dekat SMAN 2 dan SMPN 3, jadi saya memilih lewat jalan Baji Areng. Sekolah istri saya di kompleks Telkom Jl. A. P. Pettarani, dan sementara kami tinggal di rumah mertua di jalan Cendrawasih, karena rumah kami sedang dikontrakkan selama saya masih bolak-balik Jogja.

Di jalan Baji Areng, ada seorang tukang cukur, yang dulunya adalah tukang cukur langganan Almarhum Bapak saya, saat saya kecil sering di bawa ke situ tiap kali mau cukur rambut. Seorang paman saya (saudara dari Bapak) beserta anak-anaknya juga dulu menjadi langganannya. Sekarang Bapak dan Paman saya sudah almarhum, tapi Alhamdulillah bapak yang tukang cukur itu masih sehat wal afiat.

Tiap pagi kalau saya lewat di jalan itu, dan melihat bapak itu berjalan-jalan di depan rumahnya (bukan tempat cukur lagi) saya jadi teringat bayangan masa kecil. Mudah-mudahan Allah selalu memberi kesehatan dan umur panjang kepada bapak itu, supaya saya selalu bisa melihatnya kalau saya lewat tiap pagi, dan jadi ingat serta mendoakan almarhum Bapak saya.

Wednesday, April 30, 2008

Nasionalisme

Ada yang (mungkin) lucu dari seminar dua hari bertema "Kesadaran Keamanan Informasi" di Aula FMIPA Universitas Gadjah Mada. Saat pembagian door-prize (saat yang saya tunggu-tunggu di setiap seminar) hari pertama, karena jumlah door-prize yang (selalu) terbatas, maka panitia harus mengundi siapa yang berhak untuk mendapatkan door-prize terakhir, sebuah printer merek Canon, dengan cara: peserta harus mengirimkan sms ke nomor GSM yang sudah diumumkan (milik salah satu panitia/pembicara), isi pesannya ketik nama spasi .. bunyi sila ke-empat dari Pancasila.. (tidak boleh disingkat)

Pengirim tercepat dengan kalimat yang benar dialah yang berhak mendapatkan hadiah, mudah bukan.., hanya adu cepat ngetik sms saja koq.., sila ke-empat kan punya kalimat yang paling panjang dari semua sila Pancasila, kalau maniak sms (rajin memanfaatkan promo sms gratis dari operator) plus piawai menggunakan fitur T9 di ponsel, atau ponselnya pakai keyboard Qwerty, atau PDA-phone yang pakai touch-screen dengan hand-writing recognition, peluangnya makin besar untuk menang..

Eiit.. tunggu...., bunyi sila ke-empat Pancasila apa yaa..???
...

He he he he.. ternyata..
Tidak sedikit dari peserta yang menjerit "Waaaaaaa ngga' hapaaaal...!, apa dooooong...?!"
(termasuk teman saya si Andri.., halo Ndri he he he ..)

He he heh.., terus terang saya sendiri ngirim dua kali, yang pertama saya kirim berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan". Tapi rasanya terlalu pendek, yakin ada yang kurang, jadi saya mencoba menghapal ulang dari sila pertama, dan akhirnya ketemu kurangnya..
Tidak usah saya tulis di sini yang benarnya, anda yang baca pasti lebih hapal.. (bener ngga..?, coba di sebutkan dalam hati saja.. he he )

Cukup banyak dari sms yang masuk yang dibacakan oleh panitia, yang salah menulis dan tetap pede mengirimkannya (seperti saya) demi sebuah printer. Syukurlah dari sekian banyak ternyata ada juga yang menuliskannya dengan benar, dan hadiah printer pun diserahkan.

Hari kedua, beberapa door-prize kembali diperebutkan, tapi yang menarik adalah salah satu door-prize hanya akan diberikan kepada peserta yang punya lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai ringtone di ponsel-nya, dan kembali membuat bengong sebagian besar peserta, dan dari sekian banyak peserta yang masih ada di ruangan seminar, hanya ada satu ibu yang bisa menunjukkan kalau dia bisa membunyikan lagu Indonesia Raya dari ponselnya.

Beberapa minggu sebelumnya, saya sempat membaca tulisan menarik dan relevan dengan cerita di atas, yang berjudul "Masih Hapal Pancasila dan Naskah Proklamasi?", ditulis oleh I.D.A. Azir (maaf, namanya saya singkat, panjang banget), seorang citizen reporter dari Panyingkul.com, sebuah situs menarik yang bercerita tentang berbagai sisi kota Makassar, kota kelahiranku.
Saya menyempatkan diri untuk coba berkomentar di bawah tulisan itu dengan bercerita tentang dua keponakan saya yang bersekolah di Sekolah Islam Terpadu di Makassar, dengan hapalan doa mereka yang semakin kaya, tapi ternyata tidak bisa menyebutkan Pancasila atau menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Kalau saya gagal untuk bisa dapat hadiah printer gara-gara musti menghapal dua kali dan ketinggalan waktu, tapi dua keponakan saya itu mungkin nantinya, jika mereka menghadapi situasi yang sama, tidak punya harapan lagi karena mereka belum pernah hapal sama sekali.

Tapi, apakah masalahnya cuma soal dapat hadiah printer atau tidak???

Menghapal sila Pancasila, atau Indonesia Raya, kelihatannya memang hal sepele dan bisa dijadikan guyonan, tapi tidak ada salahnya kalau kita jadikan awareness, bahwa itu sebuah indikator atau gejala dari sebuah masalah yang besar. Karena kalau menunggu sampai anak bangsa benar-benar 'kehilangan' identitas, baru kemudian bisa dikatakan ancaman serius, mungkin pada saat itu kita sudah mengibarkan bendera negara lain di halaman kantor kita.

(he he he, ngomong soal bendera, jadi ingat waktu masih kerja di perusahaan developer, 1996-1998, satpam kantor yang sudah tua, dimarahi oleh seorang tentara yang kebetulan lewat, gara-gara pasang bendera merah-putih terbalik..
Jadi ingat juga waktu berada di Libya, Juni-September 2001, beneran.. sepanjang bulan Agustus saya sangat merindukan bendera merah-putih)

Barangkali tidak perlulah kita jauh-jauh memikirkan soal Askar Wataniah di perbatasan Malaysia-Indonesia, atau soal divestasi Indosat berikut satelit-satelitnya ke perusahaan Singapura, atau soal pulau Sipadan-Ligitan yang sudah terlepas dari nusantara.
Karena ternyata ancaman yang terkait dengan urusan nasionalisme, bisa jadi ada dalam diri kita sendiri yang seolah tidak memandang perlu untuk mengenali bangsa sendiri.

Tidak hapal Pancasila atau Indonesia Raya, memang tidak serta-merta berarti kita sudah kehilangan nasionalisme, tetapi kalau mau direnungkan, untuk urusan kecil seperti itu saja kita tidak bisa atau tidak peduli, bagaimana dengan urusan satelit palapa yang (mungkin) tidak akan bisa kita beli kembali karena harganya sudah berlipat-lipat kali lebih mahal dibandingkan harga saat kita menjualnya.

Besok baru tanggal 1 Mei (saya ingat, karena besok ulang tahun istri saya, Selamat Ulang Tahun yaa Ibu..), tapi barangkali kita tidak perlu menunggu sampai tanggal 20 Mei untuk mulai bangkit kembali

Friday, March 14, 2008

Broadband Seminar

Hari Rabu (12/03/2008) kemarin, saya menghadiri seminar yang diadakan oleh Magister Manjemen (MM) UGM, bertempat di auditorium kampus mereka, sayangnya dengan tiga pembicara dalam seminar setengah hari itu, saya merasa tidak mendapatkan apa-apa dari biaya yang sudah saya bayarkan (memang tidak terlalu mahal sih.., cuma Rp 75.000 harga mahasiswa S2-UGM). Jika mau dibandingkan, beberapa seminar gratis yang pernah diselenggarakan MM-UGM dan saya hadir jauh lebih berisi.

Seminar mengangkat tema: "Pengembangan Content Berbasis Broadband Network untuk Mengoptimalkan Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Bisnis", tetapi dari tiga pembicara yang tampil, menurut saya tidak satupun yang mengena dengan konteks dari tema, pengembangan konten berbasis broadband. Yang saya harapkan sebenarnya adalah paling tidak ada gambaran: apa saja konten berbasis broadband?, di mana saja kebutuhan dan implementasi konten broadband itu?, bagaimana kiat membangun konten broadband yang sukses?, atau sharing pengalaman dari pelaku bisnis konten berbasis broadband.
Walaupun tidak salah juga kalau membahas infrastruktur kerena memang erat hubungannya, tetapi bukan 'jualan' infrastruktur.
Ya, kebanyakan dari sedikit pembicara cenderung hanya jualan produk infrastruktur dan pendukungnya yang disamarkan dengan pemaparan (seolah) tentang perkembangan sekarang (biar kelihatan aktual, tapi kebanyakan copy-paste karena saya sudah pernah melihat informasi sejenis sebelumnya)

Karena tidak ada yang menurut saya menarik, saya jadi usil dan berpikir yang aneh-aneh:

Pembicara kedua, dari anak perusahaan salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia, menyajikan 'data menyedihkan' tentang tertinggalnya atau bahkan terpuruknya Indonesia dalam bidang IT dibandingkan dengan negara lain.
Dalam banyak seminar yang sempat saya ikuti, data ini selalu di-copy-paste dari banyak sumber lembaga survey, dan diangkat oleh banyak pembicara, entah untuk menyentuh atau menyalahkan siapa.
Angka-angka yang disajikan dalam bentuk chart selalu menunjukkan betapa tertinggalnya Indonesia dalam penggunaan internet dibandingkan dengan negara lain, bahkan terhadap sesama negara berkembang seperti India atau Vietnam, ditimpali dengan komentar yang kadang didramatisir oleh si pembicara.

Pemikiran saya.. (yang mungkin aneh.. he he..)
Katakanlah misalnya prosentase pengguna internet, atau penetrasi broadband, atau implementasi IT, atau.. yang lain-lain, adalah 20% (angka-angka yang disajikan sebenarnya jauh di bawah 20%, tapi saya berpikir optimis he he he..) dari jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 200 juta, maka penduduk Indonesia yang awam atau buta huruf adalah 80% (Koordinator Kopertis Wilayah IX pernah mengatakan bahwa definisi orang buta huruf sekarang adalah orang yang tidak pernah membaca email).

Perbandingan 20 banding 80, menurut saya, tidak akan berubah dalam waktu yang lama ke depan, karena:

1. Para pembicara di seminar IT yang pastinya pakar, selalu hanya berbicara tentang angka-angka 20%-80% dalam presentasinya tetapi jarang ada yang menawarkan solusi atau sekedar melempar ide bagaimana merubah angka perbandingan itu agar bergeser ke arah yang lebih baik

2. Selama ini seminar-seminar IT umumnya hanya membidik peserta dalam kelompok yang 20% artinya yang tambah pintar adalah mereka yang memang sudah pintar (tidak 'buta huruf' lagi). Jarang ada seminar yang diperuntukkan bagi mereka yang 'buta huruf', sehingga kapan mereka bisa mengakhiri masa 'buta huruf'nya..? Kalau ada seminar untuk kelompok 'buta huruf' lalu isinya cuma memaparkan bahwa Indonesia terpuruk dengan hanya 20% penduduk ngerti internet, kelompok ini bisa tersinggung karena dipandang sebagai biang kerok terpuruknya Indonesia, dan mereka akan menjawab "So what..?!"

3. Kebanyakan seminar butuh sponsor, dan sponsornya sering minta porsi untuk bicara, sehingga banyak seminar yang pembicaranya membawa bendera produk atau brand/merk tertentu (termasuk seminar kemarin, dua pembicara punya brand, satu dari pemerintahan). Sponsor pun tentu tidak mau berbicara didepan kelompok 'buta huruf' yang mungkin diprediksi kurang mampu membeli, sehingga lagi-lagi seminar hanya untuk kelompok yang 20%, sementara yang 20% pun isinya mulai dari pebisnis sampai mahasiswa, sehingga respon mereka pun "Maybe yes, maybe no".
Contoh di seminar kemarin, satu pembicara memperkenalkan broadband dengan teknologi HSDPA, dan punya stand di luar ruang seminar yang jualan modem HSDPA seharga satu juta sekian..

By the way, ada juga koq seminar yang membidik peserta secara lebih luas dan bisa memberi solusi nyata untuk memperbaiki posisi Indonesia terhadap negara lain, seperti seminar-seminar yang diadakan oleh komunitas open source, yang banyak memberi solusi agar IT, software, dan internet, bisa dijangkau oleh masyarakat luas, serta memberi harapan angka 20% bisa bertambah dan angka 'buta huruf' yang 80% bisa berkurang.
Sayangnya seminar seperti ini relatif langka, mungkin karena susah dapat sponsor. (Tapi kalau banyak sponsor isi seminarnya nanti jadi jualan juga)

Ini sekedar kritik pribadi saya bagi para penyelenggara seminar, agar bisa lebih selektif dalam memilih tema, materi, dan pembicara, serta kesesuaian antara ketiganya.