Search

Google

Friday, March 14, 2008

Broadband Seminar

Hari Rabu (12/03/2008) kemarin, saya menghadiri seminar yang diadakan oleh Magister Manjemen (MM) UGM, bertempat di auditorium kampus mereka, sayangnya dengan tiga pembicara dalam seminar setengah hari itu, saya merasa tidak mendapatkan apa-apa dari biaya yang sudah saya bayarkan (memang tidak terlalu mahal sih.., cuma Rp 75.000 harga mahasiswa S2-UGM). Jika mau dibandingkan, beberapa seminar gratis yang pernah diselenggarakan MM-UGM dan saya hadir jauh lebih berisi.

Seminar mengangkat tema: "Pengembangan Content Berbasis Broadband Network untuk Mengoptimalkan Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Bisnis", tetapi dari tiga pembicara yang tampil, menurut saya tidak satupun yang mengena dengan konteks dari tema, pengembangan konten berbasis broadband. Yang saya harapkan sebenarnya adalah paling tidak ada gambaran: apa saja konten berbasis broadband?, di mana saja kebutuhan dan implementasi konten broadband itu?, bagaimana kiat membangun konten broadband yang sukses?, atau sharing pengalaman dari pelaku bisnis konten berbasis broadband.
Walaupun tidak salah juga kalau membahas infrastruktur kerena memang erat hubungannya, tetapi bukan 'jualan' infrastruktur.
Ya, kebanyakan dari sedikit pembicara cenderung hanya jualan produk infrastruktur dan pendukungnya yang disamarkan dengan pemaparan (seolah) tentang perkembangan sekarang (biar kelihatan aktual, tapi kebanyakan copy-paste karena saya sudah pernah melihat informasi sejenis sebelumnya)

Karena tidak ada yang menurut saya menarik, saya jadi usil dan berpikir yang aneh-aneh:

Pembicara kedua, dari anak perusahaan salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia, menyajikan 'data menyedihkan' tentang tertinggalnya atau bahkan terpuruknya Indonesia dalam bidang IT dibandingkan dengan negara lain.
Dalam banyak seminar yang sempat saya ikuti, data ini selalu di-copy-paste dari banyak sumber lembaga survey, dan diangkat oleh banyak pembicara, entah untuk menyentuh atau menyalahkan siapa.
Angka-angka yang disajikan dalam bentuk chart selalu menunjukkan betapa tertinggalnya Indonesia dalam penggunaan internet dibandingkan dengan negara lain, bahkan terhadap sesama negara berkembang seperti India atau Vietnam, ditimpali dengan komentar yang kadang didramatisir oleh si pembicara.

Pemikiran saya.. (yang mungkin aneh.. he he..)
Katakanlah misalnya prosentase pengguna internet, atau penetrasi broadband, atau implementasi IT, atau.. yang lain-lain, adalah 20% (angka-angka yang disajikan sebenarnya jauh di bawah 20%, tapi saya berpikir optimis he he he..) dari jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih 200 juta, maka penduduk Indonesia yang awam atau buta huruf adalah 80% (Koordinator Kopertis Wilayah IX pernah mengatakan bahwa definisi orang buta huruf sekarang adalah orang yang tidak pernah membaca email).

Perbandingan 20 banding 80, menurut saya, tidak akan berubah dalam waktu yang lama ke depan, karena:

1. Para pembicara di seminar IT yang pastinya pakar, selalu hanya berbicara tentang angka-angka 20%-80% dalam presentasinya tetapi jarang ada yang menawarkan solusi atau sekedar melempar ide bagaimana merubah angka perbandingan itu agar bergeser ke arah yang lebih baik

2. Selama ini seminar-seminar IT umumnya hanya membidik peserta dalam kelompok yang 20% artinya yang tambah pintar adalah mereka yang memang sudah pintar (tidak 'buta huruf' lagi). Jarang ada seminar yang diperuntukkan bagi mereka yang 'buta huruf', sehingga kapan mereka bisa mengakhiri masa 'buta huruf'nya..? Kalau ada seminar untuk kelompok 'buta huruf' lalu isinya cuma memaparkan bahwa Indonesia terpuruk dengan hanya 20% penduduk ngerti internet, kelompok ini bisa tersinggung karena dipandang sebagai biang kerok terpuruknya Indonesia, dan mereka akan menjawab "So what..?!"

3. Kebanyakan seminar butuh sponsor, dan sponsornya sering minta porsi untuk bicara, sehingga banyak seminar yang pembicaranya membawa bendera produk atau brand/merk tertentu (termasuk seminar kemarin, dua pembicara punya brand, satu dari pemerintahan). Sponsor pun tentu tidak mau berbicara didepan kelompok 'buta huruf' yang mungkin diprediksi kurang mampu membeli, sehingga lagi-lagi seminar hanya untuk kelompok yang 20%, sementara yang 20% pun isinya mulai dari pebisnis sampai mahasiswa, sehingga respon mereka pun "Maybe yes, maybe no".
Contoh di seminar kemarin, satu pembicara memperkenalkan broadband dengan teknologi HSDPA, dan punya stand di luar ruang seminar yang jualan modem HSDPA seharga satu juta sekian..

By the way, ada juga koq seminar yang membidik peserta secara lebih luas dan bisa memberi solusi nyata untuk memperbaiki posisi Indonesia terhadap negara lain, seperti seminar-seminar yang diadakan oleh komunitas open source, yang banyak memberi solusi agar IT, software, dan internet, bisa dijangkau oleh masyarakat luas, serta memberi harapan angka 20% bisa bertambah dan angka 'buta huruf' yang 80% bisa berkurang.
Sayangnya seminar seperti ini relatif langka, mungkin karena susah dapat sponsor. (Tapi kalau banyak sponsor isi seminarnya nanti jadi jualan juga)

Ini sekedar kritik pribadi saya bagi para penyelenggara seminar, agar bisa lebih selektif dalam memilih tema, materi, dan pembicara, serta kesesuaian antara ketiganya.