Search

Google

Wednesday, April 30, 2008

Nasionalisme

Ada yang (mungkin) lucu dari seminar dua hari bertema "Kesadaran Keamanan Informasi" di Aula FMIPA Universitas Gadjah Mada. Saat pembagian door-prize (saat yang saya tunggu-tunggu di setiap seminar) hari pertama, karena jumlah door-prize yang (selalu) terbatas, maka panitia harus mengundi siapa yang berhak untuk mendapatkan door-prize terakhir, sebuah printer merek Canon, dengan cara: peserta harus mengirimkan sms ke nomor GSM yang sudah diumumkan (milik salah satu panitia/pembicara), isi pesannya ketik nama spasi .. bunyi sila ke-empat dari Pancasila.. (tidak boleh disingkat)

Pengirim tercepat dengan kalimat yang benar dialah yang berhak mendapatkan hadiah, mudah bukan.., hanya adu cepat ngetik sms saja koq.., sila ke-empat kan punya kalimat yang paling panjang dari semua sila Pancasila, kalau maniak sms (rajin memanfaatkan promo sms gratis dari operator) plus piawai menggunakan fitur T9 di ponsel, atau ponselnya pakai keyboard Qwerty, atau PDA-phone yang pakai touch-screen dengan hand-writing recognition, peluangnya makin besar untuk menang..

Eiit.. tunggu...., bunyi sila ke-empat Pancasila apa yaa..???
...

He he he he.. ternyata..
Tidak sedikit dari peserta yang menjerit "Waaaaaaa ngga' hapaaaal...!, apa dooooong...?!"
(termasuk teman saya si Andri.., halo Ndri he he he ..)

He he heh.., terus terang saya sendiri ngirim dua kali, yang pertama saya kirim berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan". Tapi rasanya terlalu pendek, yakin ada yang kurang, jadi saya mencoba menghapal ulang dari sila pertama, dan akhirnya ketemu kurangnya..
Tidak usah saya tulis di sini yang benarnya, anda yang baca pasti lebih hapal.. (bener ngga..?, coba di sebutkan dalam hati saja.. he he )

Cukup banyak dari sms yang masuk yang dibacakan oleh panitia, yang salah menulis dan tetap pede mengirimkannya (seperti saya) demi sebuah printer. Syukurlah dari sekian banyak ternyata ada juga yang menuliskannya dengan benar, dan hadiah printer pun diserahkan.

Hari kedua, beberapa door-prize kembali diperebutkan, tapi yang menarik adalah salah satu door-prize hanya akan diberikan kepada peserta yang punya lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai ringtone di ponsel-nya, dan kembali membuat bengong sebagian besar peserta, dan dari sekian banyak peserta yang masih ada di ruangan seminar, hanya ada satu ibu yang bisa menunjukkan kalau dia bisa membunyikan lagu Indonesia Raya dari ponselnya.

Beberapa minggu sebelumnya, saya sempat membaca tulisan menarik dan relevan dengan cerita di atas, yang berjudul "Masih Hapal Pancasila dan Naskah Proklamasi?", ditulis oleh I.D.A. Azir (maaf, namanya saya singkat, panjang banget), seorang citizen reporter dari Panyingkul.com, sebuah situs menarik yang bercerita tentang berbagai sisi kota Makassar, kota kelahiranku.
Saya menyempatkan diri untuk coba berkomentar di bawah tulisan itu dengan bercerita tentang dua keponakan saya yang bersekolah di Sekolah Islam Terpadu di Makassar, dengan hapalan doa mereka yang semakin kaya, tapi ternyata tidak bisa menyebutkan Pancasila atau menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Kalau saya gagal untuk bisa dapat hadiah printer gara-gara musti menghapal dua kali dan ketinggalan waktu, tapi dua keponakan saya itu mungkin nantinya, jika mereka menghadapi situasi yang sama, tidak punya harapan lagi karena mereka belum pernah hapal sama sekali.

Tapi, apakah masalahnya cuma soal dapat hadiah printer atau tidak???

Menghapal sila Pancasila, atau Indonesia Raya, kelihatannya memang hal sepele dan bisa dijadikan guyonan, tapi tidak ada salahnya kalau kita jadikan awareness, bahwa itu sebuah indikator atau gejala dari sebuah masalah yang besar. Karena kalau menunggu sampai anak bangsa benar-benar 'kehilangan' identitas, baru kemudian bisa dikatakan ancaman serius, mungkin pada saat itu kita sudah mengibarkan bendera negara lain di halaman kantor kita.

(he he he, ngomong soal bendera, jadi ingat waktu masih kerja di perusahaan developer, 1996-1998, satpam kantor yang sudah tua, dimarahi oleh seorang tentara yang kebetulan lewat, gara-gara pasang bendera merah-putih terbalik..
Jadi ingat juga waktu berada di Libya, Juni-September 2001, beneran.. sepanjang bulan Agustus saya sangat merindukan bendera merah-putih)

Barangkali tidak perlulah kita jauh-jauh memikirkan soal Askar Wataniah di perbatasan Malaysia-Indonesia, atau soal divestasi Indosat berikut satelit-satelitnya ke perusahaan Singapura, atau soal pulau Sipadan-Ligitan yang sudah terlepas dari nusantara.
Karena ternyata ancaman yang terkait dengan urusan nasionalisme, bisa jadi ada dalam diri kita sendiri yang seolah tidak memandang perlu untuk mengenali bangsa sendiri.

Tidak hapal Pancasila atau Indonesia Raya, memang tidak serta-merta berarti kita sudah kehilangan nasionalisme, tetapi kalau mau direnungkan, untuk urusan kecil seperti itu saja kita tidak bisa atau tidak peduli, bagaimana dengan urusan satelit palapa yang (mungkin) tidak akan bisa kita beli kembali karena harganya sudah berlipat-lipat kali lebih mahal dibandingkan harga saat kita menjualnya.

Besok baru tanggal 1 Mei (saya ingat, karena besok ulang tahun istri saya, Selamat Ulang Tahun yaa Ibu..), tapi barangkali kita tidak perlu menunggu sampai tanggal 20 Mei untuk mulai bangkit kembali