Search

Google

Tuesday, August 05, 2008

Barber Shops

Sabtu, 02 Agustus 2008 malam, akhirnya saya bertemu kembali dengan tukang cukur langganan saya setelah tidak berjumpa sejak awal tahun 2008.
He he he .. kayaknya penting banget yaa hanya untuk urusan ketemu tukang cukur musti diberitakan di blog..

Saya punya beberapa alasan untuk menulis tentang tukang cukur,
pertama, karena saya sudah lama tidak nulis dan mulai malu dengan blog yang tidak pernah ter-update
kedua, karena pas lagi dicukur, ingatan saya melayang ke sejumlah pengalaman bercukur, yang menurut saya, menarik untuk saya ceritakan, dan langsung niatan mau nulis di blog.., sekaranglah waktunya he he..

Tempat tukang cukur langganan saya di Makassar, di jalan Jend. Sudirman dekat lampu merah perempatan Sungai Saddang, depan gedung MULO DepDikNas, namanya tukang cukur M**a (he he he.. tidak boleh menyebut merk).

Mungkin bagi banyak orang di Makassar tidak tau kalau di situ ada tukang cukur, hanya berjarak dua rumah dari tukang cukur saya ada tukang cukur Mu***ra yang sepertinya sudah ngetop banget karena yang datang ke situ rata-rata bapak-bapak bermobil mewah dengan plat nomor VIP, tidak jarang datang bersama anak-anak mereka yang bersih-bersih dan menunggu giliran dicukur sambil main GameBoy atau PSP.

Dulu saya sering datang ke tukang cukur Mu***ra itu, paling tidak ikut bergaya VIP he he he..., di dalamnya nyaman, ber-AC, ada handuk hangat dan pijat kepala. Tukang cukurnya banyak, tapi masalahnya menurut saya tidak semua Pro, bahkan ada beberapa kursi cukur yang tukang cukurnya sudah berganti beberapa kali, entah mengapa. Ada juga tukang cukur yang tetap dan sepertinya mereka tukang cukur yang sudah Pro.

Kepala saya mungkin agak unik, saya sangat sulit mencari helm, topi, atau songkok, karena sulit mencari ukuran besar, jadi kalau sudah dapat yang cocok, akan saya pakai sampai butut dan benar-benar harus diganti. Belum lagi rambut yang keriting dan kering, yang salah potong sedikit akan seperti nyaris gundul dan kelihatan seperti kepala anak kecil, saya sendiri tidak suka melihatnya kalau bercermin. Karena itu mencari tukang cukur sama susahnya seperti mencari topi atau helm bagi saya.

Ini masalah saya di tukang cukur Mu***ra, karena tiap kali saya datang, tidak selalu dilayani oleh orang yang sama, karena tukang cukurnya banyak dan melayani sesuai antrian, belum lagi sering ganti orang. Jadinya, kadang satu bulan saya puas dengan hasil potongan satu tukang cukur, tapi bulan berikutnya harus makan hati lihat bayangan kepala saya di cermin, istri saya sendiri bilang kelihatan seperti potongan rambut anak kecil.

Pernah saya dicukur oleh tukang cukur yang menurut saya Pro, cara potong dan pelayanan dia bagus, dan dia selalu ada (tidak pernah di ganti) di tempat cukur Mu***ra itu, tempat cukurnya yang paling ujung dekat pintu masuk. Tapi ternyata setelah saya amati beberapa bulan, sepertinya dia yang memilih siapa yang mau dia cukur, karena saya pernah datang lebih dulu, dan menurut hitungan saya, berdasarkan antrian saya harusnya dilayani dia, tetapi ternyata si tukang cukur mempersilahkan orang lain yang yang datang belakangan dan belum lama menunggu. Di bulan yang lain, pernah juga saya melihat dia menolak mencukur seorang anak, dan melayani orang lain yang datang belakangan.

Saya paling tidak senang dengan diskriminasi seperti itu. Merasa tidak menjadi yang terpilih, ditambah lagi dengan kualitas cukur terakhir di kepala saya yang lagi-lagi menyedihkan, saya putuskan untuk tidak ke situ lagi, cari tempat cukur lain, dan ternyata dua rumah dari situ, ada papan nama tukang cukur M**a

Tempatnya sepi, parkirannya hanya muat untuk satu mobil, di dalam ada empat kursi cukur tetapi selalu hanya ada satu tukang cukur, seorang bapak berumur kira-kira 50-an tahun. walau cuma satu tukang cukur, tapi karena sepi, saya jarang mengantri, paling banyak hanya menunggu satu orang.

Sampai hari ini saya belum pernah kecewa dengan hasil cukur si Bapak (saya belum pernah tanya namanya). Tapi satu yang saya takutkan kalau cukur di situ, si Bapak itu sepertinya menganggap saya penganut aliran-aliran agama garis keras (mungkin karena saya selalu hanya minta cukur kumis, tidak dengan janggut), bahkan beliau pernah menanyakan terang-terangan saya dari perkumpulan mana.. waduh..!

Yang saya kuatirkan adalah, si Bapak sering menanyakan hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum syari'ah, atau mengajak diskusi soal konflik berbau agama yang muncul di media. Bukannya tidak suka.., tapi ilmu saya belum sampai ke sana, dan yang begitu tidak boleh salah diomongkan, tanggung jawabnya berat kan? Padahal saya sudah pernah bilang kalau saya tidak ikut aliran manapun dan saya masih belajar soal agama.
Pernah beliau menanyakan soal warisan, hibah dan wasiat, untungnya sudah pernah dengar dari acara "Mamah dan Aa'" di TV habis subuh, jadi diskusinya bisa nyambung dikit.. he he he..

Kembali ke soal cukur, dari pengalaman saya dengan tukang cukur, hasil terbaik untuk kepala dan rambut saya yang saya amati adalah jika si tukang cukur memotong hanya dengan menggunakan gunting dan sisir, ya gunting biasa... Jika tukang cukur menggunakan mesin pemotong (apa ya nama sebenarnya, pokoknya gunting cukur yang pakai listrik itu..), maka biasanya hasilnya tidak akan memuaskan bagi saya.

Selama di Jogja, tidak ada tukang cukur yang saya temui yang menggunakan gunting, semuanya pakai mesin potong, jadi bisa dibayangkan berapa bulan harus makan hati setiap kali habis cukur.. he he he..

Pengalaman terburuk bercukur di Jogja, ada tukang cukur di gang Sumilir (belakang MM UGM), namanya tukang cukur "K****k" dan menggelari tempat cukurnya sebagai "tempat cukur cowok cerdas", saya cuma sekali ke situ dan kapok. Sebenarnya sempat diingatkan sama teman satu kos supaya jangan ke situ karena disitu tukang cukurnya kejar target. Ngga ngerti maksudnya kejar target, saya coba saja cukur di situ.

Ternyata..,
saya datang langsung disambut 'resepsionist' merangkap kasir (karena bayarnya di situ juga), langsung nanya "Bapak pilih yang biasa atau yang spesial" (sebenarnya ada istilah mereka, cuma saya lupa, saya sebut 'spesial' saja). saya tanya, "bedanya apa?", jawabnya "kalau yang spesial lebih cepat"..

????????????
Di kepala saya mungkin muncul tanda tanya sebanyak itu..,
lebih cepat???, orang cukur cari apanya sih..?? cepatnya atau rapinya??, apa iya kalau cepat bisa bagus dan rapi??, apakah yang spesial, tukang cukurnya bisa cepat dan rapi?? bagaimana kalau yang biasa bisa lebih rapi karena tidak terlalu cepat..??

saya lalu memutuskan untuk memilih yang biasa, dengan pemikiran ngga usah cepat-cepatlah.. yang penting rapi.. Tapi ternyata.. sesal kemudian memang tiada berguna.. he he he..

Sudah kepala saya memang selalu bermasalah dengan tukang cukur, masuk ketempat cukur bermasalah.. weleh..! sambil dicukur saya iseng bertanya ke tukang cukur yang melayani saya (kira-kira usianya 20-an), apa bedanya yang di sini (biasa) dengan yang spesial. Jawab si tukang cukur, kalau yang di sini untuk tukang cukur pemula yang baru mau gabung dengan tukang cukur K****k, nanti kalau sudah bisa cepat, baru dianggap lulus dan masuk ke 'dalam', dapat seragam (melayani yang spesial)

Waaaaaaaaaaaaa....!!! saya langsung stress membayangkan apa yang akan terjadi, dan ternyata memang terjadi

Si tukang cukur menggunakan gunting, tapi bukan gunting biasa, melainkan 'gunting per', gunting cukur model dulu sebelum diganti mesin, gunting cukur yang dipakai tukang cukur zaman saya masih kanak-kanak, hasilnya memang bagus untuk 'cukur habis' he he he he .., Tidak kebayang kalau alat itu dipakai untuk cepat-cepatan mencukur (lha targetnya kan cepat..). Saya baru ngerti yang dimaksud oleh teman kos saya.. kejar target

Waktu mau merapikan pinggiran rambut, saya kembali ngeri, si tukang cukur hanya menggunakan pisau silet biasa, tanpa pegangan, dan pisau siletnya entah sudah pemakaian ke-berapa.., saya cuma menahan napas, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.

Memang kondisinya harus dimaklumi, karena menurut si tukang cukur, peralatan mereka itu sepenuhnya modal sendiri, biaya cukurnyapun yang cuma 5000 rupiah, berbagi dengan yang punya tempat cukur. Nanti kalau merea sudah 'lulus' baru boleh masuk ke dalam dan peralatan disediakan.

Tapi yang menjadi pikiran saya, kapan mereka lulusnya kalau tidak ada kata puas dari pelanggan, lha kerjanya seperti orang dikejar-kejar dengan peralatan kurang memadai, apakah ukurannya berdasarkan stopwatch. Apakah itu cara yang baik untuk membina tukang cukur pemula???

Saya sendiri keluar dari tempat cukur itu dengan penuh rasa gondok, dipaksain pun ngga' mungkin terucap kata puas. apalagi hari itu saya harus masuk tukang cukur lain untuk merapikan hasil karya "tempat cukur cowok cerdas", dan hasil akhirnya saya nyaris gundul, lalu berdoa mudah-mudahan tumbuhnya cepat.

Tukang cukur lain.. hmmmm, selama di Jogja, saya harus puas dengan satu tempat cukur yang dulunya bernama Az**m, dekat dengan tempat kos saya. Walaupun mengandalkan mesin cukur, tapi tukang cukurnya cukup telaten dan berhati-hati dengan rambut pelanggan, saya tinggal bilang "dirapikan, jangan terlalu pendek", hasilnya lumayan. Pelayanannya juga sopan dan menyenangkan, walau tempatnya tidak besar dan sederhana.

Dulunya bernama Az**m, tapi sekarang sudah ganti nama jadi Cr***o, saya sempat bertanya ke tukang cukurnya, yang kebetulan ganti juga, ternyata kisahnya cukup menarik.

Az**m ternyata sempat punya lima cabang di Jogja, dirintis oleh seorang mahasiswa MM (Magister Manajemen) UGM dari Medan, yang pada saat baru datang di Jogja katanya hanya naik Vespa butut, tapi setelah Az**m punya lima cabang di Jogja, dia tinggal terima setoran tiap bulan, dan sudah ganti kendaraan mobil jenis CRV, hebat kan??

Sayangnya setelah kuliahnya selesai, dia kembali ke Medan dan menjual semua asset Az**m. Sebagian dibeli oleh mantan karyawannya/tukang cukurnya. Salah satunya yang didekat tempat kos saya yang sekarang bernama Cr***o. Pemiliknya adalah mantan tukang cukur Az**m cabang Malioboro. Konsep Cr***o tidak berubah dari Az**m kecuali nama dan pemiliknya.

Nah saat peralihan itulah, Az**m tutup cukup lama dan saya terpaksa harus jadi korban K****k He he he he ...
Kalau ada orang K****k yang baca ini, harusnya mengganggapnya sebagai kritik atau koreksi.


Pengalaman menarik lain dengan tukang cukur adalah saat saya di Libya tahun 2001, empat bulan di sana, Juni-September, saya tidak pernah disentuh tukang cukur. Nanti menjelang pulang kembali ke Indonesia, saya dan dua rekan yang juga dari Indonesia, berjalan-jalan di kota Tripoli malam hari, dan ketemu dengan tempat cukur, kami bertiga masuk untuk bercukur. Di antara bertiga, saya dicukur pertama, kata teman, sebagai tumbal, nanti kalau hasilnya bagus baru mereka ikutan cukur, he he he ..

Dimulai dengan komunikasi yang sulit, karena tukang cukurnya (masih muda, umur kira 25-an) cuma ngerti sedikit bahasa Inggris, dan kita tidak bisa berbahasa Arab, apalagi ngomongin soal model rambut, akhirnya saya tunjuk saja orang yang lagi di cukur disebelah dan hampir selesai, terlihat rapi, saya bilang "same", si tukang cukur manggut-manggut.

Sebelum mencukur, rambut saya di acak-acak abis, pakai tenaga malah, tapi rasanya enak, seperti di pijat kepala. agak aneh memang karena rambutku yang sudah kacau balau, semakin dibuat kacau, saya cuma bingung lihat bayanganku di cermin, kelihatan juga teman-temanku ketawa dibelakang. Si tukang cukur kemudian berjalan berkeliling melihat sambil tolak pinggang, kelihatannya seperti insinyur lagi inspeksi he he he.., mungkin dia bingung mau diapain ini rambut. Tapi kemudian dia mulai menggunting dengan telaten dan gayanya meyakinkan. Alatnya lagi-lagi cuma gunting. Hasilnya, mungkin itu potongan rambut terbaik yang pernah saya dapatkan, karena kedua teman saya juga bilang bagus. Sempat terpikir, seandainya bisa, kembali ke Indonesia dan tidak perlu potong-potong rambut lagi, he he he he ..

Masih tentang tukang cukur. Setiap pagi saya mengantar istri saya ke sekolahnya, sebelum saya ke kantor karena jam kantor istri saya lebih pagi. Kalau pagi kendaraan tidak boleh masuk ke jalan Baji Gau dari arah jalan Cendrawasih, karena akan macet di dekat SMAN 2 dan SMPN 3, jadi saya memilih lewat jalan Baji Areng. Sekolah istri saya di kompleks Telkom Jl. A. P. Pettarani, dan sementara kami tinggal di rumah mertua di jalan Cendrawasih, karena rumah kami sedang dikontrakkan selama saya masih bolak-balik Jogja.

Di jalan Baji Areng, ada seorang tukang cukur, yang dulunya adalah tukang cukur langganan Almarhum Bapak saya, saat saya kecil sering di bawa ke situ tiap kali mau cukur rambut. Seorang paman saya (saudara dari Bapak) beserta anak-anaknya juga dulu menjadi langganannya. Sekarang Bapak dan Paman saya sudah almarhum, tapi Alhamdulillah bapak yang tukang cukur itu masih sehat wal afiat.

Tiap pagi kalau saya lewat di jalan itu, dan melihat bapak itu berjalan-jalan di depan rumahnya (bukan tempat cukur lagi) saya jadi teringat bayangan masa kecil. Mudah-mudahan Allah selalu memberi kesehatan dan umur panjang kepada bapak itu, supaya saya selalu bisa melihatnya kalau saya lewat tiap pagi, dan jadi ingat serta mendoakan almarhum Bapak saya.